Jumat, 22 Mei 2009

SATE BANDENG


Sate Bandeng merupakan makanan khas andalan daerah Serang. Penganan ini memiliki kelebihan dibanding sajian ikan lainnya, sehingga akan selalu mengundang wisatawan untuk selalu mendapatkannya ketika berkunjung ke Serang. Sate Bandeng memang istimewa, karena selain tanpa duri yang justru banyak pada ikan ini, perpaduan rasanya sangat cocok dengan lidah masyarakat nusantara. Keunikan sate Bandeng terletak pada proses pengolahannya, yakni dengan mengeluarkan seluruh daging Bandeng dan membuang tulangnya tanpa merusak kulitnya. Daging Bandeng yang sudah dikeluarkan diolah dengan tambahan aneka bumbu dan rempah-rempah. Proses berikutnya, daging Bandeng yang telah dicampur bumbu tadi dimasukkan kembali ke dalam kulitnya dan ditusukkan dua bilah bambu yang memanjang dari mulut sampai ke ekor ikan. Bagian luar ikan kemudian ditutup lagi dengan campuran daging ikan dan tepung. Setelah semua proses selesai, ikan Bandeng dibakar di atas bara api agar keluar aroma wanginya. Sate Bandeng ini cukup tahan sampai tiga hari tanpa perlu disimpan di kulkas. Setelah disimpan beberapa hari, Sate Bandeng ini dapat disajikan dengan digoreng.
Dari sejarahnya, kuliner khas Banten ini tak lepas dari pengaruh munculnya tanah-tanah sedimen di sekitar pantai utara Banten yang landai, gembur dan cocok untuk pengembangbiakan Bandeng. Berdasarkan kajian antropologis, kehadiran sate Bandeng berawal pada abad ke-18 ketika Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin menerima tamu dari Belanda, Cornellis de Bruin di danau Tasikardi. De Bruin yang datang tepat pada perayaan hari Maulid Nabi Muhammad SAW disuguhkan aneka makanan yang biasa disantap pada hari tersebut, termasuk Sate Bandeng. Konon De Bruin heran ketika menyantap Sate Bandeng. Pertama, karena Bandeng yang biasanya beraroma lumpur menjadi harum dan sangat gurih. Kedua, karena Bandeng tersebut tidak ada durinya.
Saat ini Sate Bandeng tidak hanya dapat ditemui pada perayaan hari-hari besar Islam, tetapi juga dapat ditemukan pada hari-hari biasa. Sate Bandeng ini malahan pernah diikutsertakan pada kontes sate Bandeng di Amsterdam, Belanda pada tahun 1992 di Tropic Museum, Royal Institute.

KUE BALOK

Bila mendengar ”balok” yang terbayang oleh kita adalah sebuah kayu panjang berbentuk kubus. Tapi di daerah Babakan Lor, Kecamatan Cikedal Kabupaten Pandeglang, ”balok” adalah nama sebuah penganan/kue yang terkenal nikmat. Disebut balok karena kue ini seperti balok kayu yang digunakan sebagai bantalan rel kereta api.

Bahan pembuat kue balok ini hampir sama dengan membuat ”getuk lindri”, hanya prosesnya saja yang sedikit berbeda. Kue balok dibuat dari ubi ketela pohon (dangdeur/sampeu dalam bahasa Sunda), kemudian dibuang kulitnya sampai bersih dan dicuci, lalu dikukus hingga empuk/lunak. Proses berikutnya, ditiriskan lalu ditumbuk menggunakan lesung sampai benar-benar halus dan diberi garam untuk memberi rasa gurih. Setelah halus, dicetak dan dipotong-potong menyerupai balok kayu. Kue ini biasanya disajikan dengan bumbu serundeng, yakni kelapa parut yang diasang kemudian ditumbuk halus sampai mengeluarkan minyak.

Adalah Sariman dan Hj. Jamsiah pasangan pemilik kedai atau warung kue balok yang lezat ini. Menurut mereka untuk mendapatkan kue balok yang lezat tidak ada resep khusus, hanya dibutuhkan kesabaran pada saat mengolahnya, jangan berhenti sebelum adonan menjadi kalis (tercampur rata). Pasangan yang telah dikarunia enam orang anak ini memulai usahanya pada tahun 1985 sebagai sebuah usaha keluarga.

Pada hari libur omzet kedai Pak Sariman bisa mencapai sekitar satu juta rupiah perhari atau antara 25-30 juta rupiah perbulan. Pada hari biasa rata-rata penghasilan kedai ini sekitar atau 500 ribu rupiah perhari.

Pembeli biasanya adalah langganan yang sudah sering mencicipi lezatnya kue Balok Pak Sariman. Tetapi ada juga yang berasal dari Bandung dan Jakarta. Bahkan menurutnya beberapa pejabat era orde baru pernah menyambangi dan mencicipi kelezatan kue balok ini, sebut saja seperti Pak Harto (mantan Presiden RI) Harmoko (Mantan Menteri Penerangan era Orde Baru) dan beberapa pejabat penting lainya, termasuk Bupati.

Lokasi tempat usahanya, sekaligus sebagai tempat tinggalnya sangat strategis, persis di tepi jalan raya Pandeglang-Labuan. Hingga tak sulit bagi siapa pun yang ingin mencoba enaknya jajanan ini.

EMPING MENES

Hampir semua orang mengenal emping, karena ‘kerupuk’ yang terbuat dari biji melinjo yang ditumbuk hingga tipis ini dapat ditemukan dimana-mana. Tetapi Emping yang dihasilkan dari Menes, salah satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang, berbeda dengan emping yang dihasilkan dari daerah lain pada umumnya. Selain rasa yang renyah karena pengolahannya, faktor kondisi tanah daerah Pandeglang umumnya memiliki unsur hara yang tinggi sehingga menghasilkan buah melinjo dengan kualitas baik. Bila diolah menjadi emping akan menghasilkan emping yang beraroma khas dan berkualitas tinggi.

PD. Sari Jaya Group, yang didirikan pada tahun 1956 oleh H. Jasari (alm), adalah Perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan dan penjualan Emping. Perusahaan ini terletak di Kampung Bojong Canar, Kecamatan Cikedal, Kabupaten Pandeglang, kurang lebih 31 kilometer dari kota Pandeglang ke arah Labuan. Perusahaan ini memproduksi olahan melinjo menjadi emping dan Ceprek/keceprek (ceplis). Ada 3 rasa yang dapat dinikmati : manis, pedas, dan gurih.

Menurut Hasan, salah seorang anak Haji Jasari, penerus usaha emping ini, kualitas emping dipilah menjadi 4 tingkatan berdasarkan hasil penyortiran buah melinjo yang diterima dari pengrajin emping hasil binaan perusahaan tersebut. Harga bervariasi, berdasarkan kualitas emping. Kisaran harga antara 25 ribu rupiah sampai 28 ribu rupiah perkilogram, sedangkan untuk Ceplis (keceprek) sekitar 27 ribu rupiah sampai dengan 35 ribu rupiah. Hasil produksi PD. Sari Jaya Group dapat ditemukan di pasaran dengan Merek Cula Satu, dikemas dengan wadah plastik atau memakai Toples. Tapi yang paling dicari oleh pembeli adalah Naga Emping atau Teng-Teng/Ting-Ting Emping. Promosi emping ini telah sampai ke Singapura, Malaysia, Perancis, Belanda, Taiwan. Cina, Vietnam, bahkan India.

Bagi yang menyukai penganan emping ini, agar tidak menimbulkan asam urat, Pak Hasan memberikan tips, yakni dengan sering meminum jeruk nipis.

OTAK OTAK

Banten memiliki aneka ragam kuliner yang luar biasa banyaknya. Salah satunya adalah otak – otak. Otak-otak merupakan penganan khas daerah yang berada di sekitar pantai. Jenis ini adalah salah satu bentuk pemanfaat potensi sumber daya alam berupa ikan yang melimpah, sehingga dapat memberi nilai tambah bagi perekonomian masyarakat setempat. Labuan – Pantai Carita dan sekitarnya adalah salah satu daerah yang memiliki makanan jenis ini. Otak-otak dari Labuan sudah terkenal kelezatannya sampai keluar wilayah Banten.
Teksturnya yang lembut karena terbuat dari ikan Tenggiri yang diadu
k merata dengan tepung tapioka (aci), santan, bawang putih, merica, gula pasir dan garam, serta aroma yang timbul dari daun pisang -sebagai pembungkusnya- terbakar diatas arang akan menimbulkan aroma yang sangat menggugah selera. Selain sebagai pendamping nasi, otak-otak kebanyakan dimakan tanpa nasi dengan sambal kacang yang diasang dan ditambah bumbu lain, penyajiannya bisa dicocol atau ditaburkan diatas piring.
Sebut saja Ibu Ijah, wanita berputra dua ini telah 3 tahun menggeluti usaha pembuatan otak – otak. Kiosnya tepat berada di sebelah warung kue balok Pak Sariman. Tepatnya di Kampung Margaluyu Babakan Lor, Kecamatan Cikedal Kabupaten Pandeglang. Bermula dengan menggunakan modal sendiri perempuan ini mencoba membuka warung kecil-kecilan. Dalam sehari Ia bisa menghabiskan 10 kg bahan mentah otak-otak yang dijual dengan harga Rp. 2000,- perbuah. Omzetnya mencapai Rp. 300.000/hari. Selain lezat, otak-otak buatan Bu Ijah ini memiliki ukuran yang cukup besar dibandingkan dengan otak-otak lain pada umunya.

Cikotok : Kota Emas di Tapal Batas

Cikotok, nama itu mungkin tidak asing lagi di telinga banyak orang karena semasa sekolah dulu nama Cikotok selalu tercantum dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai tambang emas terbesar yang ketika itu masih bagian dari Jawa Barat.
Tapi coba tanyakan dimana letak Cikotok itu sesungguhnya, mungkin tidak semua orang tahu sekalipun diminta menunjukkannya di peta, alias kenal nama tapi ga kenal muka. Jumlah itu kan lebih sedikit lagi bila ditanya pernahkah anda ke sana?

Tidak dapat disalahkan bila hanya segelintir orang yang mengetahui dimana letak tambang emas Cikotok, terlebih ingin
berkunjung kesana, kecuali hanya orang-orang tertentu saja seperti peneliti atau mahasiswa jurusan tambang atau pun pekerja tambang itu sendiri. Cikotok memang bukan destinasi yang populer untuk berwisata. Pasalnya untuk sampai kesana, harus menempuh jarak sekitar 136 km dengan waktu tempuh antara 3-4 jam dari Kota Serang. Sebuah perjalanan yang sudah membuat capek deh duluan. Tapi jangan salah, segala kejenuhan dan kepenatan akan pupus seketika, coba lihat sepanjang jalan yang dilalui menuju Cikotok ini menjanjikan pemandangan alam yang luar biasa. Apalagi setelah melewati wilayah Kecamatan Malingping dan memasuki wilayah Kecamatan Cihara, mata kita akan disuguhi pemandangan pasir putih dan deburan besar ombak Samudera Hindia yang terhampar di sisi kanan jalan. Bila ingin menikmati lebih dekat suasana ”almost paradise” ini anda bisa menepikan sejenak kendaraan di sebuah dataran yang agak tinggi di daerah Cihara, dari sini sejauh mata memandang hanyalah hamparan samudera biru luas bak permadani yang tepiannya nun jauh disana bertemu dengan batas cakrawala langit.

Sejarah Penambangan
Lepas dari kehangatan pantai Cihara, menyusuri daerah Panggarangan terus melintasi Bayah, perjalanan mulai menapaki daerah perbukitan dengan jalan mendaki dan berliku. Tidak sampai satu jam sampailah kita di Cikotok, sebuah wilayah di Banten Selatan yang mulai dikenal sejak diketemukan adanya indikasi endapan emas pada tahun 1839 oleh pemerintah Hindia Belanda. Persiapan pembukaan tambang emas di Cikotok sendiri baru dimulai pada tahun 1936-1939. Pada tahun 1939 dibangun pabrik pengolahan emas di Pasir Gombong oleh perusahaan swasta Belanda NV. Mijnbouw Maatschappy Zuid Bantam (NV. MMZB). Pada tahun yang sama tambang emas Cikotok dan Cipicung dibuka secara resmi. Produksi tambang terhenti antara tahun 1942-1945 karena pecahnya Perang Dunia kedua dan masa pendudukan Jepang. Jepang mengambil alih tambang emas Cikotok dengan menunjuk perusahaan Jepang bernama Mitsui Kosha Kabushiki Kaisha dengan tujuan mengambil bijih timah hitam dari Cirotan untuk keperluan perang. Semasa kemerdekaan antara tahun 1945 hingga tahun 1948, tambang emas Cikotok dikuasai oleh pemerintah RI dibawah Jawatan Pertambangan Pusat Republik Indonesia. Ketika clash ke dua dengan Belanda, tanggal 23 Desember 1948, tambang Cikotok kembali dikuasai oleh Belanda sampai pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Karena keadaan tambang yang rusak berat selama pendudukan Jepang, dan biaya untuk merehabilitasi kembali membutuhkan biaya yang sangat besar maka pada tahun 1950 pertambangan Cikotok dijual oleh NV. MMZB kepada N.V. Perusahaan Pembangunan Pertambangan (N.V. P3). Selama kurun waktu 1954 hingga 1957 N.V. P3 melakukan rehabilitasi tambang dan pabrik sehingga sejak 1957 pertambangan mulai beroperasi lagi dengan pusat pertambangan di Cikotok dan Cirotan. Tahun 1991 ditemukan deposit emas baru di daerah Cikidang. Setelah melalui pekerjaan persiapan, penambangan dan perbaikan pabrik pengolahan, produksi pun dimulai pada pertengahan tahun 1997.

Hasil Produksi
Pabrik pengolahan batu bijih terletak di desa Pasir Gombong yang berjarak sekitar 5 km dari kantor Aneka Tambang Cikotok. Batu bijih yang dibawa dari tambang diolah melalui lima tahapan, yakni pra olahan, dimana bijih besi digerus dan digiling halus oleh mesin penggiling berputar berukuran raksasa yang di dalamnya dimasukkan peluru penggiling. Sesudah halus, lalu ke tahap sianidasi yaitu pelarutan logam Au dan Ag dalam media larutan sianida, kemudian disaring melalui proses filtrasi dengan beberapa bak penampung dengan ukuran yang tidak kalah besar. Tahap akhir adalah presipitat. Presipitat yang mengandung emas dan perak yang dikonsentrasi akan dibawa ke tempat pemurnian logam mulia. Jangan dibayangkan emas yang dihasilkan berupa butiran-butiran emas seperti yang kita kira, melainkan berupa serbuk-serbuk emas yang dikumpulkan di laboratorium. Melalui proses kimia, butiran-butiran halus emas tersebut dapat menyatu dan terakumulasi. Kebutuhan air dalam pemrosesan bijih emas dipasok dari sungai Cimadur yang mengalir di belakang pabrik. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik baik bagi pabrik maupun perumahan di sekitar desa Pasir Gombong diperoleh dari PLTA Pasir Gombong.

Fungsi Sosial
Dari gambaran di atas, mungkin terbayang bagaimana sulitnya akses jalan untuk dapat sampai ke Cikotok dengan keterbatasan infrastruktur yang ada ketika itu. Tetapi dengan adanya jalur kereta api merupakan transportasi utama yang membuka hubungan lalu lintas manusia dan barang dengan daerah luar. Dengan adanya pertambangan di daerah terpencil dan tergolong tidak subur ini berdampak besar kepada kemajuan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan membantu perkembangan daerah sekitarnya. Pihak tambang pun menyediakan fasilitas-fasilitas perusahaan bukan hanya untuk kepentingan karyawan tambang, tetapi juga untuk masyarakat umum sekitarnya, seperti fasilitas kesehatan perusahaan yang ketika itu memiliki rumah sakit dengan peralatan terbaik di Banten Selatan lengkap dengan tenaga dokter terlatih. Termasuk aliran listrik untuk keperluan rumah dan persediaan air bersih serta instalasinya, semua diberikan secara cuma-cuma oleh perusahaan.
Perusahaan tambang emas Cikotok menjadi pionir pembukaan jalur darat satu-satunya sepanjang 50 km ke arah Banten Selatan yang menghubungkan Cikotok, Bayah dan Malingping yang merupakan urat nadi perekonomian daerah di Selatan Banten. Sejak akhir tahun 1965, perusahaan membuka jalur transportasi darat dengan menggunakan bus perusahaan sepanjang 120 km yang menghubungkan antara Cikotok dengan Sukabumi.

Masa Depan Cikotok
Saat ini kekayaan bumi Cikotok sudah mulai menipis, sehingga tambang Cikotok memasuki periode yang diistilahkan sebagai masa pasca tambang karena kadar emas yang diperoleh dari bijih emas sudah menurun. Satu persatu peralatan produksi sudah mulai dibongkar untuk dikurangi, seperti Lori Kabelbaan, yaitu pengangkut batu bijih ke pabrik pengolahan Pasir Gombong sudah diamankan, selain pertimbangan faktor keselamatan juga untuk mengamankannya dari tindakan pencurian kabel dan besi-besi tua. Pengangkutan batu bijih dari tambang Cikidang ke pabrik pengolahan di desa Pasir Gombong saat ini cukup dilakukan dengan truk-truk pengangkut.

Cikotok dan wilayah tambang di sekitarnya mungkin sudah tidak bernilai ekonomis tinggi lagi. Tetapi Cikotok sesungguhnya baru memasuki babak baru dari sebuah episode panjang perjalanan sebuah wilayah yang dahulunya bukan apa-apa, lalu menjadi sebuah daerah terbuka yang kaya, kemudian perlahan-lahan menurun seiring berkurangnya deposit mineral berharga di dalamnya. Banyak potensi besar yang menanti untuk dikembangkan untuk membuka lembaran baru sejarah sebuah kota emas.

SELAYANG PANDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT CISUNGSANG



A. KEADAAN GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFIS
Masyarakat Adat Cisungsang terletak di kaki Gunung Halimun, yang dikelilingi oleh 4 (Empat) desa adat lainnya yaitu Desa Cicarucub, Bayah, Citorek, dan Cipta Gelar. Masyarakat Adat Cisungsang berkedudukan di Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak. Untuk menuju ke Masyarakat Adat Cisungsang memerlukan waktu 5 jam dari kota Rangkasbitung Kab. Lebak dan dari Kota Serang - Ibu Kota Provinsi Banten dengan jarak tempuh ± 200 Km. Kondisi jalan menuju Masyarakat Adat Cisungsang cukup baik dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat.
Wilayah Masyarakat Adat Cisungsang memiliki luas ± 2.800 km2 dengan jumlah penganut adat Cisungsang 11.000 jiwa dan ini tersebar di kota-kota di Indonesia.
Nama Masyarakat Adat Cisungsang pada awalnya berasal dari nama salah satu sungai yang mengalir dari Talaga Sangga Buana. Talaga ini mengalir ke 9 (sembilan) sungai yaitu Sungai Cimadur, Ciater, Cikidang, Cisono, Ciberang, Cidurian, Cicatih, Cisimeut, dan Cisungsang.

B. KEBUDAYAAN MASYARAKAT ADAT CISUNGSANG
1. Bahasa
Bahasa daerah yang digunakan Masyarakat Adat Cisungsang yaitu Bahasa Sunda.
2. Organisasi Sosial
2.1. Sistem pemerintahan menganut 3 sistem, yaitu : sistem pemerintahan negara, sistem kasepuhan/hukum adat, dan sistem agama /hukum Islam.
2.2. Masyarakat Adat Cisungsang terdiri dari 11 (sebelas) Rukun Tetangga (RT) dan 9 (sembilan) Rukun Kampung (RK) yaitu terdiri dari Kampung Cipayung, Lembur Gede, Pasir Kapundang, Babakan, Sela Kopi, Pasir Pilar, Gunung Bongkok, Suka Mulya, dan Bojong.
2.3. Masyarakat Adat Cisungsang dipimpin oleh seorang Kepala Adat, yang penunjukannya melalui proses wangsit dari karuhun. Kepemimpinan ini telah terjadi 4 generasi yaitu generasi pertama oleh Embah Buyut yang berusia ± 350 tahun, generasi kedua oleh Uyut Sakrim berusia ± 250 tahun, generasi ketiga oleh Olot Sardani berusia ± 126 tahun dan generasi keempat oleh Abah Usep yang sekarang berusia 38 tahun, dimana beliau mulai memegang tampuk pimpinan pada usia 19 tahun. Abah Usep ini selain menjadi kepala adat beliau mempunyai keahlian di bidang supranatural yaitu bisa membaca pikiran orang,
Dalam menjalankan pemerintahannya Abah Usep dibantu oleh 87 Rendangan artinya orang yang ditunjuk secara turun temurun yang merupakan perwakilan dari kepala adat.
2.4. Hubungan kekeluargaan menganut sistem Patrilineal / mengikuti garis keturunan dari Bapak.
3. Mata pencaharian
Warga Desa Cisungsang sebagian besar bertani dan berdagang, namun setelah dipimpin oleh Abah Usep, anak muda Desa Ciungsang sebagian besar menjadi pekerja buruh ke kota-kota terutama ke Jakarta dan Sukabumi.
4. Peralatan Hidup dan Teknologi
Masyarakat Adat Cisungsang sudah mengenal teknologi ditandai dengan adanya penerangan listrik, bentuk rumah yang sudah mengikuti perkembangan, bertani sudah menggunakan alat-alat yang modern dan media elektronik sudah ada seperti TV, Radio, Tape Recorder, Telephon dan Satelit. Tetapi bentuk rumah yang sebenarnya adalah rumah kayu berbentuk panggung dan untuk memasak masih menggunakan tungku (hawu) dan diatasnya terdapat tempat untuk menyimpan alat-alat dapur disebut Paraseuneu.
5. Religi / Kepercayaan
Masyarakat Adat Cisungsang menganut Agama Islam dan Hukum Adat, dalam perkembangan kehidupan sehari hari mereka juga menggunakan Syariat Islam salah satu contoh mereka biasa melakukan shalat. Namun sebagian besar lebih percaya atau lebih meyakini pada hukum adat. Mereka lebih percaya dengan adanya wangsit dari karuhun melalui Kepala Adat (Abah Usep), jadi segala sesuatu ditentukan oleh Abah Usep misalnya jika Abah tidak menghendaki sesuatu atau yang tidak diharapkan akan terjadi akibatnya yaitu berupa sering menderita sakit, usaha selalu rugi/gagal, rumah tangganya berantakan dan sampai ada yang meninggal dunia secara tiba-tiba. Karena lebih meyakini hukum adat maka masyarakat adat Cisungsang sangat menjaga dan mematuhi larangan-larangan dan kewajiban dari kepala adat karena mereka yakin akan terjadi sesuatu (kualat) jika melanggar, tapi jika kepala adat menghendaki akibat itu tidak terjadi maka masyarakat adat Cisungsang harus melakukan Lukun (Pengakuan Dosa).
Lukun ini terbagi kedalam 3 (tiga) tahapan sesuai dengan perbuatan/dosa-dosa yang melanggar hukum adat diantaranya :
1. Lukun Lima (5) yaitu jika seseorang melakukan perbuatan/dosa kecil cara yang harus dilakukan adalah menyembah Kepala Adat/Abah sebanyak lima kali disertai dengan doa-doa.
2. Lukun Tujuh (7) yaitu seseorang melakukan dosa sedang cara yang dilakukan menyembah Kepala Adat /Abah sebanyak tujuh kali disertai doa-doa.
3. Lukun Salapan (9) yaitu seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum adat yang sudah parah seseorang ini akan menyerahkan diri sampai berani dibunuh dan biasanya sampai meninggal dunia kalau tidak segera melakukan lukun salapan.
6. Pengetahuan
Masyarakat Adat Cisungsang rata-rata berpendidikan sampai SD tapi ada juga beberapa yang sudah sarjana.
7. Kesenian
Kesenian yang berkembang di Masyarakat Adat Cisungsang adalah:
1. Angklung buhun
2. Dogdog lojor
3. Sisindiran/pantun
4. Ngagondang
5. Wayang golek
6. Ujungan, terdiri dari Hoe ageung,Hoe alit dan Golok
7. Silat baster diiringi pencak silat tarik kolot
8. Rengkong
9. Celempung, yaitu alat musik dari bambu yang dimainkan dengan cara dipukul dengan telapak tangan
10. Karinding
11. Betok, yaitu Bass dari bambu yang dimainkan dengan cara ditiup
Pakaian adat masyarakat adat Cisungsang adalah Pakaian dengan 2 warna Hitam dan Putih (Hideung Bodas) mengandung arti yaitu hideung yang berasal dari kata hideng yang berarti cerdas, cepat mengerti. Sedangkan bodas artinya putih bersih, suci jadi harus mempunyai hati yang bersih.
Penyajian Angklung buhun:
Angklung buhun terdiri 12 orang dan dibagi kedalam 2 regu, masing – masing regu terdiri dari 6 orang yaitu 2 pemain dogdog dan 4 pemain angklung.
Uraian penyajian ;
1. Bubuka
2. Lagu-lagu angklung
3. Ngadu angklung
4. Penutup
5. Gerakan dari angklung buhun yaitu 2 langkah kedepan dan 1 langkah kebelakang yang artinya mawas diri atau setiap melakukan pekerjaan jangan selalu melihat kedepan harus sekali-kali melihat kebelakang.
6. Angklung buhun ditampilkan setiap mengadakan upacara-upacara adat sedikitnya 4 kali dalam setahun.
Contoh lagu-lagu Sisindiran dalam Angklung buhun :
- Patromak mah nu geulis, lampu patromak
Patromak mah si Bapa peupeus kacana
Ngahormat mah geuningan abdi ngahormat
Ngahormat ti Abdi kasadayana, geuningan kasadayana….

- Sanes hideung mah nu gede ku bajuna
Hideung soteh si Nyai ku calanana
Sanes nineung si Bapa mah ku lucuna
Nineung soteh ka Abdi sok ku belana, geuningan sok kubelana….

- Tong ka leuweung nu geulis sok seuur sireum
Ka cai mah si Nyai geura mandikeun
Tong ka deungeun nu geulis sok Abdi nineung
Pasini jeung Abdi geura jadikeun, Silanglai…. Sidulaela…..

C. RITUAL-RITUAL DI MASYARAKAT ADAT CISUNGSANG
Masyarakat Adat Cisungsang sangat percaya dengan hukum adat, hukum adat ini merupakan perwujudan amanat-amanat leluhur dari sekelompok suku/rakyat yang hidup turun temurun untuk kemudian dijadikan pedoman dalam memutuskan sikap hidup. Dalam hal ini Masyarakat Adat Cisungsang memiliki pandangan hidup yang sangat terikat serta patuh terhadap peraturan hukum adatnya yang berlaku secara turun temurun.
Masyarakat Adat Cisungsang sangat mengagungkan Padi (pare)/ Saripohaci/ Dewi Sri, dengan keyakinan bahwa padi ini sebagai sumber kehidupan mereka maka masyarakat ini selalu mengadakan upacara-upacara/ritual-ritual untuk mengagungkan padi diantaranya dari menanam padi sampai menyimpan padi harus mengadakan selamatan yang disebut dengan Ngamumule Pare (memelihara padi).
Rangkaian Ritual dalam rangka Ngamumule Pare :
1. Nibakeun Sri ka Bumi;
2. Ngamitkeun Sri ti Bumi;
3. Ngunjal;
4. Rasul Pare di Leuit;
5. Seren Taun
1. Nibakeun Sri ka Bumi, yaitu kegiatan yang dilakukan pada saat akan menyebar benih dan waktu dari menyebar sampai menuai benih selama 45 s/d 50 hari. Kegiatan ini diawali dengan mengadakan upacara selamatan yang dilakukan dirumah kasepuhan dan diawali dengan acara doa bersama, dilanjutkan dengan makan bersama dan mengadakan hiburan. Kesenian yang ditampilkan adalah Angklung buhun dan Dogdog lojor. Kegiatan ini dilakukan dari pagi hari sampai dengan siang hari.
2. Ngamitkeun Sri ti Bumi, yaitu kegiatan yang dilakukan sebelum memetik atau menuai hasil panen yang diawali dengan upacara selamatan yang dilakukan dirumah kasepuhan dan diawali acara doa bersama, dilanjutkan dengan makan bersama dan hiburan dengan menampilkan Angklung buhun dan Dogdog lojor. Kegiatannya dilakukan pagi hari sampai siang hari.
3. Ngunjal, yaitu kegiatan penyimpanan padi ke lumbung (leuit) setelah dikeringkan/dilantayan. Kegiatan ini diawali dengan acara selamatan (doa bersama) dengan menyediakan tumpeng dan diiringi tetabuhan dogdog lojor dan rengkong.
4. Rasul Pare di Leuit, yaitu mempersembahkan tumpeng rasul dan bebakak ayam jantan berwarna kuning keemasan. Kegiatan ini dilaksanakan dan dipimpin oleh ketua adat yang didampingi 7 (tujuh) orang pake pake kolot (tujuh orang tua yang diambil berdasarkan garis keturunan).
5. Seren Taun, yaitu upacara mulasara pare di leuit (menyimpan padi ke lumbung) dilakukan setiap tahun yang jatuh di bulan Juli dan untuk tahun berikutnya maju 10 (sepuluh hari) dari tahun sebelumnya. Kegiatan seren taun ini berlangsung selama 7 (tujuh) malam. Ada 3 (tiga) kegiatan pokok yang tidak boleh dilewatkan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Hari Jumat malam Sabtu wajib menampilkan kesenian tradisional pantun;
b. Hari Minggu jam 14.00 WIB, kirim doa ka karuhun (leluhur) yaitu suatu acara yang bersifat sakral dan wajib dilakukan.
c. Hari Senin jam 12.00 WIB, Rasul Seren Taun yakni kirim doa kepada Yang Maha Kuasa yang dipimpin oleh Abah (ketua adat) yang wajib diikuti oleh seluruh perwakilan adat/rendangan kasepuhan Cisungsang.
Selain Upacara Ngamumule pare di Desa Cisungsang ada beberapa upacara adat lainnya yaitu:
a. Acara Bulan purnama yaitu acara adat yang dilaksanakan 12 kali dalam setahun setiap tanggal 14 pada waktu bulan purnama, dilakukan dengan menggunakan bacaan Jangjawokan, menurut beberapa adat jangjawokan ini ada yang bisa diinformasikan kepada orang tertentu, ada yang tidak bisa diinformasikan kepada orang lain.
b. Acara Ngukus di Pandaringan adalah acara dimana setiap Minggu malam Senin dan Rabu malam Kamis mengadakan Pedupaan di setiap rumah.
c. Acara Prah Prahan, dilaksanakan Hari Jumat pertama bulan Muharam, dimana seluruh masyarakat adat membawa Sawen, bubur beureum (bubur merah), bubur bodas (bubur putih) yang dikumpulkan dirumah ketua adat untuk diberi doa/mantera (jangjawokan) yang dipimpin langsung oleh ketua adat. Selanjutnya dibawa lagi ke rumah masing-masing masyarakat adat untuk segera ditempelkan dilawang panto (diatas pintu). Isi Sawen berupa :
• Daun Hanjuang;
• Daun Tulak Tanggul;
• Sulangkar;
• Daun Darangdan;
• Daun Ilat;
• Daun Rane;
• Daun Palias;
• Pacing;
• Lempah Bodas (Bubur Putih);
d. Acara Rasul Mulud adalah acara yang wajib dilakukan pada bulan Mulud dan dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis setelah tanggal 14 (empat belas) pada bulan tersebut.
e. Acara Rasul Ruwah adalah acara yang wajib dilakukan pada bulan Ruwah dan dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis setelah tanggal 14 (empat belas) pada bulan tersebut.
f. Acara Nyebor , kegiatan ini merupakan lanjutan dari prah prahan yaitu suatu kegiatan dimana para bayi yang lahir pada tahun tersebut untuk di simur/nyimur. Acara simur ini dilakukan oleh petugas khusus yang dinamakan Tukang Rorok.

Pencatat : - Ucu

- Yedi Rusyadi

KEPURBAKALAAN SITUS PERKOTAAN BANTEN LAMA

Sesuai dengan keletakkannya yang strategis maka Banten makin tumbuh dan berkembang sebagai salah satu negara kota bercorak Islam dan kota pesisir di Nusantara ini. Banten merupakan pelabuhan yang penting bila dilihat dari sudut geografi dan ekonomi karena letaknya yang strategis dalam penguasaan Selat Sunda, yang menjadi matarantai pula dalam pelayaran dan perdagangan melalui Samudera Hindia di bagian selatan dan bagian barat Sumatera. Pentingnya Banten lebih dirasakan terutama waktu Selat Malaka berada di bawah pengawasan Portugis di Malaka. Pedagang-pedagang Persia, India, Cina dan daerah lain mulai menghindari Kota Malaka. Hal ini disebabkan politik Portugis yang memaksakan sistem monopoli kepada para pedagang tersebut yang telah terbiasa dengan sistem perdagangan bebas.

Akibat penguasaan Portugis terhadap Malaka pada tahun 1511, keletakkan bandar di Teluk Banten menjadi sangat strategis sebagai jalur pelayaran dan perdagangan Internasional melalui Selat Sunda, Samudera Hindia, menelusuri Pesisir Barat Sumatera-Aceh terus ke daerah-daerah di Ceylon, India sampai Timur Tengah.

Berdasarkan bukti-bukti sejarah dan didukung oleh banyaknya tinggalan arkeologis di Serang ini, dapatlah dikatakan bahwa Serang pada masa lampau pernah menjadi pusat Kerajaan Islam terbesar di Nusantara pada Abad XVI yang berpusat di kawasan Banten Lama sekarang.

SITUS PERKOTAAN BANTEN LAMA

Banten Lama merupakan sebuah kawasan kepurbakalaan yang menjadi salah satu obyek wisata budaya unggulan di Kabupaten Serang. Jaraknya sekitar 10 km dari Ibu Kota Provinsi Banten ini. Pada tahun 1526 pusat kerajaan dipindahkan dari Banten Girang ke Banten Lama sekarang, tepatnya tanggal 8 oktober tahun 1526. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Serang. Dari bukti-bukti sejarah yang ditinggalkan, terungkap bahwa daerah Banten Lama yang perkembangannya kini terasa lambat, dulu ternyata pernah menjadi kota pelabuhan Internasional dari sebuah Kerajaan Islam yang makmur dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing dari berbagai negara. Secara umum, karakteristik masing-masing bangunan utama di situs perkotaan Banten Lama dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Masjid Agung Banten

Masjid Agung terletak di bagian barat alun-alun kota, di atas lahan seluas 0,13 hektar, didirikan pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, masjid ini memiliki rancang bangun tradisional. Bangunan induk masjid ini berdenah segi empat dengan atap bertingkat bersusun 5 atau dikenal dengan istilah atap tumpang. Tiga tingkat yang teratas sama runcingnya. Di bagian puncak terdapat hiasan atap yang biasa disebut mamolo. Francois Valentijn yang mengunjungi Banten pada tahun 1694 mengatakan : voorzien van viff verdiepingen of daken (mempunyai atap lima tingkat).

Pondasi masjid pejal setinggi ± 70 cm, ini berhubungan dengan konsep pra Islam dimana tempat suci selalu berada di tempat yang tinggi. Dari segi arsitektur, pondasi masjid seperti itu akan memperkokoh bangunan. Pada bagian depan terdapat parit berair yang disebut kulah, fungsinya sebagai kolam wudhu yang airnya mengalir ketika itu. Ciri-ciri tersebut merupakan kekhasan arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia pada umumnya. Di sisi kiri dan kanan bangunan masjid terdapat masing-masing sebuah serambi yang dibangun pada masa kemudian. Menurut catatan sejarah, serambi-serambi ini dibangun kemudian oleh pengganti Hasanuddin yaitu Maulana Yusuf.

Dapat dikatakan bahwa dua bangsa mengerjakan penyempurnaan masjid ini. Bangunan masjid dibuat oleh bangsa Indonesia yang diwakili masyarakat Banten, sementara bangunan Tiyamah dan Menara Masjid oleh Bangsa Belanda yang dimaksudkan untuk infiltrasi budaya sebagai penguasa Banten.

Kulah atau pekulahan Masjid Agung banten di sebelah timur

Ruang utama shalat Masjid Agung Banten

Bagian ruang utama shalat, serambi timur, serambi utara, dan serambi selatan kini dilapisi oleh ubin marmer. Bangunan utama masjid dibatasi oleh dinding di keempat sisinya, terdapat pintu-pintu yang menghubungkan ruang utama dengan serambi masjid yang berada di sisi utara, selatan dan timur. Bangunan masjid ini ditopang oleh dua puluh empat tiang (soko guru), empat tiang utama terletak pada bagian tengah ruangan. Pada bagian bawahnya terdapat empat buah umpak batu berbentuk buah labu.

Mihrab terdapat pada dinding sebelah barat berupa ceruk tempat imam memimpin shalat. Di sisi kanan mihrab terdapat mimbar yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian bawah berupa pondasi masif dari batu dan bangunan atasnya terbuat dari kayu.

Dinding timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur yang mempunyai bentuk atap limasan. Pada dinding ini terdapat empat buah pintu masuk yang rendah, sehingga setiap orang yang akan masuk ke ruang utama masjid akan menundukkan kepala. Dinding selatan membatasi ruang utama dengan pawestren, terdapat sebuah pintu di bagian barat laut. Pada dinding utara yang memisahkan ruang utama dengan serambi utara terdapat satu buah pintu berukuran besar dan dua buah jendela besar. Pintu-pintu dan jendela di Masjid Agung Banten relatif masih baru.

Masjid Agung Banten ini dikenal memiliki kharisma yang tinggi, terlihat dari banyaknya peziarah mendatangi masjid. Selain berziarah untuk memperoleh barokah dan qaromah, mereka juga ingin menyaksikan secara langsung kebesaran Masjid Agung Banten ini.

2. Komplek Keraton Surosowan

Komplek keraton ini sekarang sudah hancur, yang tersisa saat ini adalah tembok benteng yang mengelilingi dengan sisa-sisa bangunannya, berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa bekas bangunan pemandian dan sebuah kolam taman dengan bangunan bale kambangnya. Komplek Keraton Surosowan yang disebut juga Gedong Kedaton Pakuwan ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran dinding sekitar 2 meter dan lebar sekitar 5 meter. Panjang dinding sisi timur dan sisi barat 300 meter, sedangkan dinding sisi utara dan sisi selatan 100 meter, jadi luas secara keseluruhan sekitar 3 Hektar. Pintu masuk yang merupakan pintu gerbang utama terletak di sisi utara, menghadap ke alun-alun. Dinding bagian selatan dan timur tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali.

Berdasarkan peta dan gambar-gambar lama, di sisi timur terdapat pula sebuah pintu. Pada keempat sudut benteng terdapat tembok yang menebal dan menjorok keluar atau yang dikenal dengan istilah bastion. Di bagian sisi sebelah dalam tembok benteng -pada ke empat sudutnya- terdapat pintu-pintu masuk menuju ruangan yang terdapat dalam tembok benteng.

Dari peta-peta lama, diketahui bahwa komplek ini dahulu dikelilingi oleh parit yang fungsinya sebagai pertahanan. Yang kini masih tersisa hanyalah parit di bagian selatan dan barat keraton Surosowan. Menurut catatan sejarah, keraton ini dibangun oleh Maulana Hasanuddin Sultan Banten pertama antara tahun 1552 sampai sekitar tahun 1570, sedangkan benteng dan gerbangnya yang terbuat dari bata dan batu karang dibangun pada masa Maulana Yusuf Sultan Banten kedua antara tahun 1570 sampai sekitar tahun 1580.

3. Museum Situs Banten Lama

Mamolo sebagai hiasan puncak atap

Berdiri di atas lahan seluas 10.000 m2 dengan luas bangunan 778 m2. museum ini diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Subadio pada Tanggal 15 Juli 1985. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama selain dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan benda cagar budaya bergerak (moveable artifact) hasil penelitian yang berasal dari situs Banten lama dan sekitarnya, dapat juga dimanfaatkan sebagai media atau sarana yang bersifat rekreatif ilmu pengetahuan dan sebagai sumber inspirasi. Sayangnya sampai saat ini masyarakat belum banyak yang memanfaatkan fungsi museum secara optimal. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi museum yang kurang dapat memberikan kenyamanan kepada pengunjung serta informasi koleksi yang serba singkat, hanya sebatas label.

Pendirian Museum Situs Banten Lama didasari karena adanya potensi budaya yang pernah hidup dan berkembang di Wilayah Banten. Oleh karena itu cakupan koleksi yang dihimpun adalah benda-benda yang memberikan gambaran tentang sejarah alam dan budaya yang berkembang sejak masa prasejarah hingga yang masih hidup sampai sekarang. Koleksi Museum Situs Banten Lama dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok koleksi, yakni :

1. Arkeologika, yang tergolong dalam kelompok ini seperti Arca Nandi, Mamolo, Gerabah, Atap, Lesung Batu dan lain sebagainya.

2. Numismatika, berupa koleksi mata uang, baik mata uang asing maupun mata uang yang dicetak oleh Masyarakat Banten. Mata uang yang pernah dipakai sebagai alat tukar yang sah dalam transaksi jual beli ketika itu adalah caxa/cash, mata uang VOC, mata uang Inggris, tael dan mata uang Banten sendiri.

Di masa pergerakan, mata uang Banten disebut ORIDAB, kependekan dari Oeang Republik Indonesia Daerah Banten.

3. Etnografika, berupa koleksi miniatur rumah adat Suku Baduy, berbagai macam senjata tradisional dan peninggalan kolonial seperti : tombak, keris, golok, peluru meriam, pedang, pistol dan meriam. Ada juga koleksi pakaian adat dari masa keSultanan Banten, kotak peti perhiasan dan alat-alat pertunjukkan kesenian debus.

4.

Meriam Ki Amuk

Keramologika, berupa temuan-temuan keramik, baik itu keramik lokal ataupun keramik asing. Keramik asing berasal dari Birma, Vietnam, Cina, Jepang, Timur Tengah dan Eropa. Masing-masing keramik memiliki ciri-ciri khas sendiri. Keramik lokal lebih dikenal sebagai gerabah yang diproduksi dan berkembang di Banten. Gerabah tersebut biasa digunakan sebagai alat rumah tangga, bahan bangunan serta wadah pelebur logam yang biasa disebut dengan istilah Qowi.

5.

Replika miniatur rumah Baduy

Seni rupa, berupa hasil reproduksi lukisan atau sketsa yang menggambarkan aktivitas masyarakat di Banten masa itu. Ada reproduksi lukisan duta besar Kerajaan Banten untuk Kerajaan Inggris, yakni Kyai Ngabehi Naya Wirapraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana yang berkunjung ke Inggris pada tahun 1682. Reproduksi kartografi Banten in European Perspective, lukisan-lukisan yang menggambarkan suasana di Tasikardi dan diorama latihan perang prajurit Banten.

Di halaman muka museum masih terdapat beberapa artefak lain, yakni :

Meriam Ki Amuk

Keramik-keramik asing

Meriam ini semula terletak di Karangantu, sebelum dipindahkan ke halaman museum sekarang, sempat ditempatkan di sudut tenggara alun-alun. Pada meriam tersebut terdapat tiga buah prasasti berbentuk lingkaran dengan huruf dan Bahasa Arab. Prasasti tersebut berbunyi : “akibatul khairi, salamatul imani”. Menurut K. C. Crucq kalimat ini diduga merupakan candra sangkala atau penanggalan yang memiliki makna angka tahun 1450 saka atau 1628/1629 masehi. Meriam ini terbuat dari tembaga dengan panjang sekitar 2,5 meter. Meriam ini merupakan hasil rampasan dari tentara Portugis yang berhasil dikalahkan. Guna memudahkan membawa meriam, dibuatkanlah gelang di sebelah kiri dan kanannya.

Menurut cerita, -karena belum ada penelitian ilmiah mengenai kebenarannya- Ki Amuk mempunyai kembaran yang bernama Ki Jagur, Ki Jagur ini memiliki gelang pada pangkalnya dan juga diberi hiasan berbentuk tangan yang sedang mengepal dengan dua jari yang menyeruak di antara jari tengah dan jari telunjuk. Meriam ini sekarang berada di Museum Fattahillah Jakarta.

Bekas Penggilingan Lada

Artefak ini terbuat dari bahan batu padas, tetapi sudah tidak dalam bentuk yang utuh lagi, sudah terbagi ke dalam sebelas bagian. Konon ini merupakan sebuah “mesin” yang dipergunakan untuk menggiling lada. Banten terkenal akan komoditi ladanya. Perekonomian Banten menjelang abad XVII berbasis pada tanaman dan ekspor lada yang diproduksi di pedalaman dan tanah jajahan Sumatera Selatan (Lampung dan Bengkulu). Kemakmuran penduduk juga digambarkan demikian kuat terasosiasi dengan keuntungan dari ekspor lada, yang telah membuat Banten terkenal sebagai negara pengekspor lada kedua terbesar di Asia Tenggara setelah Aceh (Fadillah, 2005:19).

Dari bentuknya terlihat bahwa batu-batu ini merupakan hasil bentukan manusia, ada yang berbentuk roda gigi, papan, umpak, bulat, balok dan lingkaran yang dahulunya mungkin satu kesatuan. Letaknya kini di sebelah barat laut komplek Museum Situs Banten Lama.

4. Masjid Pecinan Tinggi

Di Kampung Pecinan masih terdapat reruntuhan bekas sebuah masjid kuno. Kini hanya terdapat sisa pondasi bangunan induknya yang terbuat dari bata dan batu karang, dan sisa mihrab yang membujur arah timur barat. Di bagian halaman terdapat bangunan menara yang berdenah bujur sangkar, bagian atas menara ini sudah hancur.

Bentuk menara Masjid Pecinan Tinggi ini memiliki kesamaan bentuk dengan menara Masjid Kasunyatan yang terletak di Desa Kasunyatan. Bentuk ke dua menara seperti ini menurut stutterheim dipengaruhi oleh gaya Portugis.

5. Kelenteng Avalokitesvara

Kelenteng ini terletak di sebelah barat Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini terletak di Dermayon, dibangun oleh masyarakat Cina yang ada di Banten. Kapan pastinya kelenteng ini dibangun tidak diketahui. Tetapi menurut tradisi, kelenteng ini dibangun pada sekitar tahun 1652 atau pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut catatan Cortemunde pada tahun 1659 kelenteng ini menempati loji Belanda dan kelenteng yang lama menurut catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan menara lama (Masjid Pecinan Tinggi). Pada tahun 1774, kelenteng ini dipindahkan ke Kampung Pamarican, Desa Pabean sekarang.

Tandu sumbangan Thie Soen Tjoan dari Batavia

Kelenteng Avalokitesvara

Di halaman depan kelenteng terdapat gedung utama yang biasa digunakan sebagai tempat upacara, terdiri dari banyak lilin-lilin besar. Di sisi kiri dan kanan terdapat tungku besar tempat pembakaran uang kertas atau disebut Jin-Lu. Di kiri dan kanan gedung utama terdapat beberapa altar sekunder untuk melakukan ritual ibadah yang urutannya dimulai dari depan, terus ke kanan, lalu ke kiri dan akhirnya ke belakang. Di sisi utara terdapat aula Dhamasala Budha Gautama yang berfungsi sebagai tempat peribadatan, tetapi bangunan ini relatif masih baru, dibangun pada tahun 1973. Di bagian belakang yang berhalaman luas terdapat bangunan penunjang berupa kamar-kamar yang fungsinya sebagai tempat menginap para peziarah yang datang dari tempat yang jauh.

Di halaman belakang ini juga tersimpan tandu yang digunakan untuk mengarak kim-sin, koan-im, hut-cou. Serta terdapat dua buah pendupaan kayu berukir sumbangan dari Tjie Soen Tjoan dari Pintu Kecil Batavia pada tahun 1895. Atap kelenteng ini menjulang ke atas, bentuk seperti ini dimaksudkan agar aliran yang baik tetap tertampung, tidak turun ke bawah. Di bagian atas atap terdapat ornamen naga. Tidak jauh dari Vihara Avalokitesvara ke arah utara terdapat Desa Pabean, di Pabean inilah pertama kalinya Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat pada tahun 1596.

6. Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk terletak di Kampung Pamarican dekat Bandar Pabean, sekitar 600 meter di sebelah barat laut Keraton Surosowan, berdenah persegi panjang tidak simetris, dan pada setiap sudutnya terdapat bastion. Tembok benteng ini masih utuh tetapi sebagian sudah mengalami perusakan.

Benteng ini didirikan pada tahun 1585 oleh Belanda di atas reruntuhan sisi utara tembok keliling kota Banten. Di bagian luar benteng terdapat parit buatan yang mengelilinginya.

Bagian dalam Benteng Speelwijk terdiri dari beberapa ruangan, hanya sebagian saja dari ruangan-ruangan ini yang masih tersisa, selebihnya hanya sisa-sisa pondasi yang tersusun atas batu bata. Untuk memasuki ruangan-ruangan di dalam Benteng Speelwijk, orang terlebih dahulu harus melalui lorong sempit yang berkelok. Ruangan yang sampai kini masih tampak utuh adalah ruangan di sisi barat daya benteng, berukuran 4 x 6 m dengan dua lubang angin berbentuk segi empat tepat di bagian atap. Ruangan ini diduga dahulu merupakan penjara (?).

Di bagian kiri depan ruangan ini terdapat satu ruangan lagi berukuran 1 x 2 m, ruangan ini diduga semacam sel khusus. Ada dua buah gerbang berbentuk lengkung di dinding sisi utara, di bagian sisi dalam tembok utara terdapat undakan berupa anak tangga untuk menuju ke atas tembok benteng. Nama yang diberikan pada benteng Belanda ini adalah nama untuk menghormati Gubernur Jenderal Cornellis Janszzon Speelman yang bertugas antara tahun 1681 sampai dengan tahun 1684.

7. Pelabuhan Karangantu

Banten merupakan pelabuhan yang penting bila dilihat dari sudut geografi dan ekonomi karena letaknya yang strategis dalam penguasaan Selat Sunda. Kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 menyebabkan para pedagang muslim enggan untuk melalui Selat Malaka. Para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat mengalihkan jalur perdagangan ke Selat Sunda, sehingga mereka pun singgah di Karangantu. Sejak itu, perlahan tapi pasti, Karangantu menjadi pusat perdagangan Internasional yang banyak disinggahi oleh para pedagang dari Benua Asia, Afrika dan Eropa. Dapat dibayangkan betapa besar dan ramainya Bandar Karangantu saat itu.

Saat ini Karangantu hanya sebuah pelabuhan kecil yang sama sekali tidak menunjukkan bukti-bukti kebesarannya di masa lalu, sebaliknya pelabuhan yang pernah dijuluki Singapore-nya Banten ini sekarang lebih terkesan kumuh. Sampai sekarang pelabuhan ini masih dimanfaatkan untuk pelabuhan dan pusat perdagangan ikan. Pada tahun 1991 pelabuhan ini pernah dikeruk agar kapal-kapal yang bertonase besar dapat masuk.

Di pelabuhan ini pada setiap Bulan Oktober atau November setiap tahunnya diselenggarakan Pesta Ruat Laut. Selain sebagai upacara tradisi nelayan, pesta laut tersebut juga sekaligus untuk mengenang kejayaan masa lalu Banten.

8. Keraton Kaibon

Komplek Keraton Kaibon yang terletak di Kampung Kroya merupakan tempat kediaman Ibu Ratu Asyiah, ibunda Sultan Syafiuddin. Pada tahun 1832 keraton ini dibongkar oleh pemerintah Hindia Belanda, yang tersisa sekarang hanya pondasi dan tembok-tembok serta gapuranya saja. Keraton ini mempunyai sebuah pintu besar yang dinamai Pintu Dalem. Di pintu gerbang sebelah barat menuju Masjid Kaibon terdapat tembok yang dipayungi sebuah pohon beringin.

Pada tembok tersebut terdapat 5 pintu bergaya Jawa dan Bali (Paduraksa dan Bentar). Apabila dibandingkan dengan arsitektur keraton Surosowan, Keraton Kaibon nampak lebih archaik, terutama bila dilihat dari rancang bangun pintu-pintu dan tembok keraton. Untuk menuju keraton terdapat 4 buah pintu bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbang menuju bagian dalam keraton. Lokalitas tradisional Siti Hinggil pada keraton Jawa pada umumnya, di Keraton Kaibon ini menjadi lokasi penempatan bangunan masjid, yakni di halaman kedua. Yang tersisa kini hanya bagian mihrabnya saja. Untuk memasuki masjid harus melalui pintu Paduraksa. Dalam konsep arsitektur Hindu, pembedaan jenis pintu Bentar dan Paduraksa mengacu pada jenis/fungsi bangunan sakral/profan.