Jumat, 22 Mei 2009

KEPURBAKALAAN SITUS PERKOTAAN BANTEN LAMA

Sesuai dengan keletakkannya yang strategis maka Banten makin tumbuh dan berkembang sebagai salah satu negara kota bercorak Islam dan kota pesisir di Nusantara ini. Banten merupakan pelabuhan yang penting bila dilihat dari sudut geografi dan ekonomi karena letaknya yang strategis dalam penguasaan Selat Sunda, yang menjadi matarantai pula dalam pelayaran dan perdagangan melalui Samudera Hindia di bagian selatan dan bagian barat Sumatera. Pentingnya Banten lebih dirasakan terutama waktu Selat Malaka berada di bawah pengawasan Portugis di Malaka. Pedagang-pedagang Persia, India, Cina dan daerah lain mulai menghindari Kota Malaka. Hal ini disebabkan politik Portugis yang memaksakan sistem monopoli kepada para pedagang tersebut yang telah terbiasa dengan sistem perdagangan bebas.

Akibat penguasaan Portugis terhadap Malaka pada tahun 1511, keletakkan bandar di Teluk Banten menjadi sangat strategis sebagai jalur pelayaran dan perdagangan Internasional melalui Selat Sunda, Samudera Hindia, menelusuri Pesisir Barat Sumatera-Aceh terus ke daerah-daerah di Ceylon, India sampai Timur Tengah.

Berdasarkan bukti-bukti sejarah dan didukung oleh banyaknya tinggalan arkeologis di Serang ini, dapatlah dikatakan bahwa Serang pada masa lampau pernah menjadi pusat Kerajaan Islam terbesar di Nusantara pada Abad XVI yang berpusat di kawasan Banten Lama sekarang.

SITUS PERKOTAAN BANTEN LAMA

Banten Lama merupakan sebuah kawasan kepurbakalaan yang menjadi salah satu obyek wisata budaya unggulan di Kabupaten Serang. Jaraknya sekitar 10 km dari Ibu Kota Provinsi Banten ini. Pada tahun 1526 pusat kerajaan dipindahkan dari Banten Girang ke Banten Lama sekarang, tepatnya tanggal 8 oktober tahun 1526. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Serang. Dari bukti-bukti sejarah yang ditinggalkan, terungkap bahwa daerah Banten Lama yang perkembangannya kini terasa lambat, dulu ternyata pernah menjadi kota pelabuhan Internasional dari sebuah Kerajaan Islam yang makmur dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing dari berbagai negara. Secara umum, karakteristik masing-masing bangunan utama di situs perkotaan Banten Lama dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Masjid Agung Banten

Masjid Agung terletak di bagian barat alun-alun kota, di atas lahan seluas 0,13 hektar, didirikan pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, masjid ini memiliki rancang bangun tradisional. Bangunan induk masjid ini berdenah segi empat dengan atap bertingkat bersusun 5 atau dikenal dengan istilah atap tumpang. Tiga tingkat yang teratas sama runcingnya. Di bagian puncak terdapat hiasan atap yang biasa disebut mamolo. Francois Valentijn yang mengunjungi Banten pada tahun 1694 mengatakan : voorzien van viff verdiepingen of daken (mempunyai atap lima tingkat).

Pondasi masjid pejal setinggi ± 70 cm, ini berhubungan dengan konsep pra Islam dimana tempat suci selalu berada di tempat yang tinggi. Dari segi arsitektur, pondasi masjid seperti itu akan memperkokoh bangunan. Pada bagian depan terdapat parit berair yang disebut kulah, fungsinya sebagai kolam wudhu yang airnya mengalir ketika itu. Ciri-ciri tersebut merupakan kekhasan arsitektur masjid-masjid kuno di Indonesia pada umumnya. Di sisi kiri dan kanan bangunan masjid terdapat masing-masing sebuah serambi yang dibangun pada masa kemudian. Menurut catatan sejarah, serambi-serambi ini dibangun kemudian oleh pengganti Hasanuddin yaitu Maulana Yusuf.

Dapat dikatakan bahwa dua bangsa mengerjakan penyempurnaan masjid ini. Bangunan masjid dibuat oleh bangsa Indonesia yang diwakili masyarakat Banten, sementara bangunan Tiyamah dan Menara Masjid oleh Bangsa Belanda yang dimaksudkan untuk infiltrasi budaya sebagai penguasa Banten.

Kulah atau pekulahan Masjid Agung banten di sebelah timur

Ruang utama shalat Masjid Agung Banten

Bagian ruang utama shalat, serambi timur, serambi utara, dan serambi selatan kini dilapisi oleh ubin marmer. Bangunan utama masjid dibatasi oleh dinding di keempat sisinya, terdapat pintu-pintu yang menghubungkan ruang utama dengan serambi masjid yang berada di sisi utara, selatan dan timur. Bangunan masjid ini ditopang oleh dua puluh empat tiang (soko guru), empat tiang utama terletak pada bagian tengah ruangan. Pada bagian bawahnya terdapat empat buah umpak batu berbentuk buah labu.

Mihrab terdapat pada dinding sebelah barat berupa ceruk tempat imam memimpin shalat. Di sisi kanan mihrab terdapat mimbar yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian bawah berupa pondasi masif dari batu dan bangunan atasnya terbuat dari kayu.

Dinding timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur yang mempunyai bentuk atap limasan. Pada dinding ini terdapat empat buah pintu masuk yang rendah, sehingga setiap orang yang akan masuk ke ruang utama masjid akan menundukkan kepala. Dinding selatan membatasi ruang utama dengan pawestren, terdapat sebuah pintu di bagian barat laut. Pada dinding utara yang memisahkan ruang utama dengan serambi utara terdapat satu buah pintu berukuran besar dan dua buah jendela besar. Pintu-pintu dan jendela di Masjid Agung Banten relatif masih baru.

Masjid Agung Banten ini dikenal memiliki kharisma yang tinggi, terlihat dari banyaknya peziarah mendatangi masjid. Selain berziarah untuk memperoleh barokah dan qaromah, mereka juga ingin menyaksikan secara langsung kebesaran Masjid Agung Banten ini.

2. Komplek Keraton Surosowan

Komplek keraton ini sekarang sudah hancur, yang tersisa saat ini adalah tembok benteng yang mengelilingi dengan sisa-sisa bangunannya, berupa pondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur, sisa bekas bangunan pemandian dan sebuah kolam taman dengan bangunan bale kambangnya. Komplek Keraton Surosowan yang disebut juga Gedong Kedaton Pakuwan ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran dinding sekitar 2 meter dan lebar sekitar 5 meter. Panjang dinding sisi timur dan sisi barat 300 meter, sedangkan dinding sisi utara dan sisi selatan 100 meter, jadi luas secara keseluruhan sekitar 3 Hektar. Pintu masuk yang merupakan pintu gerbang utama terletak di sisi utara, menghadap ke alun-alun. Dinding bagian selatan dan timur tembok benteng ini bahkan ada yang sudah hancur sama sekali.

Berdasarkan peta dan gambar-gambar lama, di sisi timur terdapat pula sebuah pintu. Pada keempat sudut benteng terdapat tembok yang menebal dan menjorok keluar atau yang dikenal dengan istilah bastion. Di bagian sisi sebelah dalam tembok benteng -pada ke empat sudutnya- terdapat pintu-pintu masuk menuju ruangan yang terdapat dalam tembok benteng.

Dari peta-peta lama, diketahui bahwa komplek ini dahulu dikelilingi oleh parit yang fungsinya sebagai pertahanan. Yang kini masih tersisa hanyalah parit di bagian selatan dan barat keraton Surosowan. Menurut catatan sejarah, keraton ini dibangun oleh Maulana Hasanuddin Sultan Banten pertama antara tahun 1552 sampai sekitar tahun 1570, sedangkan benteng dan gerbangnya yang terbuat dari bata dan batu karang dibangun pada masa Maulana Yusuf Sultan Banten kedua antara tahun 1570 sampai sekitar tahun 1580.

3. Museum Situs Banten Lama

Mamolo sebagai hiasan puncak atap

Berdiri di atas lahan seluas 10.000 m2 dengan luas bangunan 778 m2. museum ini diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Subadio pada Tanggal 15 Juli 1985. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama selain dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan benda cagar budaya bergerak (moveable artifact) hasil penelitian yang berasal dari situs Banten lama dan sekitarnya, dapat juga dimanfaatkan sebagai media atau sarana yang bersifat rekreatif ilmu pengetahuan dan sebagai sumber inspirasi. Sayangnya sampai saat ini masyarakat belum banyak yang memanfaatkan fungsi museum secara optimal. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi museum yang kurang dapat memberikan kenyamanan kepada pengunjung serta informasi koleksi yang serba singkat, hanya sebatas label.

Pendirian Museum Situs Banten Lama didasari karena adanya potensi budaya yang pernah hidup dan berkembang di Wilayah Banten. Oleh karena itu cakupan koleksi yang dihimpun adalah benda-benda yang memberikan gambaran tentang sejarah alam dan budaya yang berkembang sejak masa prasejarah hingga yang masih hidup sampai sekarang. Koleksi Museum Situs Banten Lama dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok koleksi, yakni :

1. Arkeologika, yang tergolong dalam kelompok ini seperti Arca Nandi, Mamolo, Gerabah, Atap, Lesung Batu dan lain sebagainya.

2. Numismatika, berupa koleksi mata uang, baik mata uang asing maupun mata uang yang dicetak oleh Masyarakat Banten. Mata uang yang pernah dipakai sebagai alat tukar yang sah dalam transaksi jual beli ketika itu adalah caxa/cash, mata uang VOC, mata uang Inggris, tael dan mata uang Banten sendiri.

Di masa pergerakan, mata uang Banten disebut ORIDAB, kependekan dari Oeang Republik Indonesia Daerah Banten.

3. Etnografika, berupa koleksi miniatur rumah adat Suku Baduy, berbagai macam senjata tradisional dan peninggalan kolonial seperti : tombak, keris, golok, peluru meriam, pedang, pistol dan meriam. Ada juga koleksi pakaian adat dari masa keSultanan Banten, kotak peti perhiasan dan alat-alat pertunjukkan kesenian debus.

4.

Meriam Ki Amuk

Keramologika, berupa temuan-temuan keramik, baik itu keramik lokal ataupun keramik asing. Keramik asing berasal dari Birma, Vietnam, Cina, Jepang, Timur Tengah dan Eropa. Masing-masing keramik memiliki ciri-ciri khas sendiri. Keramik lokal lebih dikenal sebagai gerabah yang diproduksi dan berkembang di Banten. Gerabah tersebut biasa digunakan sebagai alat rumah tangga, bahan bangunan serta wadah pelebur logam yang biasa disebut dengan istilah Qowi.

5.

Replika miniatur rumah Baduy

Seni rupa, berupa hasil reproduksi lukisan atau sketsa yang menggambarkan aktivitas masyarakat di Banten masa itu. Ada reproduksi lukisan duta besar Kerajaan Banten untuk Kerajaan Inggris, yakni Kyai Ngabehi Naya Wirapraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana yang berkunjung ke Inggris pada tahun 1682. Reproduksi kartografi Banten in European Perspective, lukisan-lukisan yang menggambarkan suasana di Tasikardi dan diorama latihan perang prajurit Banten.

Di halaman muka museum masih terdapat beberapa artefak lain, yakni :

Meriam Ki Amuk

Keramik-keramik asing

Meriam ini semula terletak di Karangantu, sebelum dipindahkan ke halaman museum sekarang, sempat ditempatkan di sudut tenggara alun-alun. Pada meriam tersebut terdapat tiga buah prasasti berbentuk lingkaran dengan huruf dan Bahasa Arab. Prasasti tersebut berbunyi : “akibatul khairi, salamatul imani”. Menurut K. C. Crucq kalimat ini diduga merupakan candra sangkala atau penanggalan yang memiliki makna angka tahun 1450 saka atau 1628/1629 masehi. Meriam ini terbuat dari tembaga dengan panjang sekitar 2,5 meter. Meriam ini merupakan hasil rampasan dari tentara Portugis yang berhasil dikalahkan. Guna memudahkan membawa meriam, dibuatkanlah gelang di sebelah kiri dan kanannya.

Menurut cerita, -karena belum ada penelitian ilmiah mengenai kebenarannya- Ki Amuk mempunyai kembaran yang bernama Ki Jagur, Ki Jagur ini memiliki gelang pada pangkalnya dan juga diberi hiasan berbentuk tangan yang sedang mengepal dengan dua jari yang menyeruak di antara jari tengah dan jari telunjuk. Meriam ini sekarang berada di Museum Fattahillah Jakarta.

Bekas Penggilingan Lada

Artefak ini terbuat dari bahan batu padas, tetapi sudah tidak dalam bentuk yang utuh lagi, sudah terbagi ke dalam sebelas bagian. Konon ini merupakan sebuah “mesin” yang dipergunakan untuk menggiling lada. Banten terkenal akan komoditi ladanya. Perekonomian Banten menjelang abad XVII berbasis pada tanaman dan ekspor lada yang diproduksi di pedalaman dan tanah jajahan Sumatera Selatan (Lampung dan Bengkulu). Kemakmuran penduduk juga digambarkan demikian kuat terasosiasi dengan keuntungan dari ekspor lada, yang telah membuat Banten terkenal sebagai negara pengekspor lada kedua terbesar di Asia Tenggara setelah Aceh (Fadillah, 2005:19).

Dari bentuknya terlihat bahwa batu-batu ini merupakan hasil bentukan manusia, ada yang berbentuk roda gigi, papan, umpak, bulat, balok dan lingkaran yang dahulunya mungkin satu kesatuan. Letaknya kini di sebelah barat laut komplek Museum Situs Banten Lama.

4. Masjid Pecinan Tinggi

Di Kampung Pecinan masih terdapat reruntuhan bekas sebuah masjid kuno. Kini hanya terdapat sisa pondasi bangunan induknya yang terbuat dari bata dan batu karang, dan sisa mihrab yang membujur arah timur barat. Di bagian halaman terdapat bangunan menara yang berdenah bujur sangkar, bagian atas menara ini sudah hancur.

Bentuk menara Masjid Pecinan Tinggi ini memiliki kesamaan bentuk dengan menara Masjid Kasunyatan yang terletak di Desa Kasunyatan. Bentuk ke dua menara seperti ini menurut stutterheim dipengaruhi oleh gaya Portugis.

5. Kelenteng Avalokitesvara

Kelenteng ini terletak di sebelah barat Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini terletak di Dermayon, dibangun oleh masyarakat Cina yang ada di Banten. Kapan pastinya kelenteng ini dibangun tidak diketahui. Tetapi menurut tradisi, kelenteng ini dibangun pada sekitar tahun 1652 atau pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut catatan Cortemunde pada tahun 1659 kelenteng ini menempati loji Belanda dan kelenteng yang lama menurut catatan Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan menara lama (Masjid Pecinan Tinggi). Pada tahun 1774, kelenteng ini dipindahkan ke Kampung Pamarican, Desa Pabean sekarang.

Tandu sumbangan Thie Soen Tjoan dari Batavia

Kelenteng Avalokitesvara

Di halaman depan kelenteng terdapat gedung utama yang biasa digunakan sebagai tempat upacara, terdiri dari banyak lilin-lilin besar. Di sisi kiri dan kanan terdapat tungku besar tempat pembakaran uang kertas atau disebut Jin-Lu. Di kiri dan kanan gedung utama terdapat beberapa altar sekunder untuk melakukan ritual ibadah yang urutannya dimulai dari depan, terus ke kanan, lalu ke kiri dan akhirnya ke belakang. Di sisi utara terdapat aula Dhamasala Budha Gautama yang berfungsi sebagai tempat peribadatan, tetapi bangunan ini relatif masih baru, dibangun pada tahun 1973. Di bagian belakang yang berhalaman luas terdapat bangunan penunjang berupa kamar-kamar yang fungsinya sebagai tempat menginap para peziarah yang datang dari tempat yang jauh.

Di halaman belakang ini juga tersimpan tandu yang digunakan untuk mengarak kim-sin, koan-im, hut-cou. Serta terdapat dua buah pendupaan kayu berukir sumbangan dari Tjie Soen Tjoan dari Pintu Kecil Batavia pada tahun 1895. Atap kelenteng ini menjulang ke atas, bentuk seperti ini dimaksudkan agar aliran yang baik tetap tertampung, tidak turun ke bawah. Di bagian atas atap terdapat ornamen naga. Tidak jauh dari Vihara Avalokitesvara ke arah utara terdapat Desa Pabean, di Pabean inilah pertama kalinya Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat pada tahun 1596.

6. Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk terletak di Kampung Pamarican dekat Bandar Pabean, sekitar 600 meter di sebelah barat laut Keraton Surosowan, berdenah persegi panjang tidak simetris, dan pada setiap sudutnya terdapat bastion. Tembok benteng ini masih utuh tetapi sebagian sudah mengalami perusakan.

Benteng ini didirikan pada tahun 1585 oleh Belanda di atas reruntuhan sisi utara tembok keliling kota Banten. Di bagian luar benteng terdapat parit buatan yang mengelilinginya.

Bagian dalam Benteng Speelwijk terdiri dari beberapa ruangan, hanya sebagian saja dari ruangan-ruangan ini yang masih tersisa, selebihnya hanya sisa-sisa pondasi yang tersusun atas batu bata. Untuk memasuki ruangan-ruangan di dalam Benteng Speelwijk, orang terlebih dahulu harus melalui lorong sempit yang berkelok. Ruangan yang sampai kini masih tampak utuh adalah ruangan di sisi barat daya benteng, berukuran 4 x 6 m dengan dua lubang angin berbentuk segi empat tepat di bagian atap. Ruangan ini diduga dahulu merupakan penjara (?).

Di bagian kiri depan ruangan ini terdapat satu ruangan lagi berukuran 1 x 2 m, ruangan ini diduga semacam sel khusus. Ada dua buah gerbang berbentuk lengkung di dinding sisi utara, di bagian sisi dalam tembok utara terdapat undakan berupa anak tangga untuk menuju ke atas tembok benteng. Nama yang diberikan pada benteng Belanda ini adalah nama untuk menghormati Gubernur Jenderal Cornellis Janszzon Speelman yang bertugas antara tahun 1681 sampai dengan tahun 1684.

7. Pelabuhan Karangantu

Banten merupakan pelabuhan yang penting bila dilihat dari sudut geografi dan ekonomi karena letaknya yang strategis dalam penguasaan Selat Sunda. Kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 menyebabkan para pedagang muslim enggan untuk melalui Selat Malaka. Para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat mengalihkan jalur perdagangan ke Selat Sunda, sehingga mereka pun singgah di Karangantu. Sejak itu, perlahan tapi pasti, Karangantu menjadi pusat perdagangan Internasional yang banyak disinggahi oleh para pedagang dari Benua Asia, Afrika dan Eropa. Dapat dibayangkan betapa besar dan ramainya Bandar Karangantu saat itu.

Saat ini Karangantu hanya sebuah pelabuhan kecil yang sama sekali tidak menunjukkan bukti-bukti kebesarannya di masa lalu, sebaliknya pelabuhan yang pernah dijuluki Singapore-nya Banten ini sekarang lebih terkesan kumuh. Sampai sekarang pelabuhan ini masih dimanfaatkan untuk pelabuhan dan pusat perdagangan ikan. Pada tahun 1991 pelabuhan ini pernah dikeruk agar kapal-kapal yang bertonase besar dapat masuk.

Di pelabuhan ini pada setiap Bulan Oktober atau November setiap tahunnya diselenggarakan Pesta Ruat Laut. Selain sebagai upacara tradisi nelayan, pesta laut tersebut juga sekaligus untuk mengenang kejayaan masa lalu Banten.

8. Keraton Kaibon

Komplek Keraton Kaibon yang terletak di Kampung Kroya merupakan tempat kediaman Ibu Ratu Asyiah, ibunda Sultan Syafiuddin. Pada tahun 1832 keraton ini dibongkar oleh pemerintah Hindia Belanda, yang tersisa sekarang hanya pondasi dan tembok-tembok serta gapuranya saja. Keraton ini mempunyai sebuah pintu besar yang dinamai Pintu Dalem. Di pintu gerbang sebelah barat menuju Masjid Kaibon terdapat tembok yang dipayungi sebuah pohon beringin.

Pada tembok tersebut terdapat 5 pintu bergaya Jawa dan Bali (Paduraksa dan Bentar). Apabila dibandingkan dengan arsitektur keraton Surosowan, Keraton Kaibon nampak lebih archaik, terutama bila dilihat dari rancang bangun pintu-pintu dan tembok keraton. Untuk menuju keraton terdapat 4 buah pintu bentar, begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbang menuju bagian dalam keraton. Lokalitas tradisional Siti Hinggil pada keraton Jawa pada umumnya, di Keraton Kaibon ini menjadi lokasi penempatan bangunan masjid, yakni di halaman kedua. Yang tersisa kini hanya bagian mihrabnya saja. Untuk memasuki masjid harus melalui pintu Paduraksa. Dalam konsep arsitektur Hindu, pembedaan jenis pintu Bentar dan Paduraksa mengacu pada jenis/fungsi bangunan sakral/profan.

Tidak ada komentar: