Jumat, 22 Mei 2009

WAYANG GARING

Wayang Garing bukanlah jenis pertunjukkan yang berpijak pada lakon, melainkan pada sederet guyon yang langsung melibatkan pemilik hajat (panitia) dan para penonton. Ibarat pertunjukkan teater, wayang garing mirip “teater miskin” Artaud yang mengeksplorasi keterbatasan dengan memaksimalkan apa yang dimiliki. Wayang Garing bukanlah sejenis dongeng yang mengisahkan suatu cerita, melainkan percakapan seorang dalang kepada penontonnya mengenai kehidupan nyata ki dalang di tengah masyarakatnya.
Sejak awal pertunjukkan Ki Dalang menyapa panitia, tokoh masyarakat, dan sebagian penonton. Sapaan tersebut selain sebagai forum “saweran”, yang lebih pokok adalah bentuk komunikasi yang memperkuat ikatan penonton ke dalam pertunjukkan. Dengan senda gurau yang semi serius, komunikasi antara dalang dengan penonton sampai akhir pertunjukkan tetap terjalin. Inilah keunggulan kesenian tradisi yang berpijak pada homogenitas dan keakraban. Keakraban terlihat ketika pada setiap pertunjukkannya, Ki Dalang Kajali menyebut setiap nama yang diundang untuk “berpartisipasi”. Ia tidak membeda-bedakan status dan dan kedudukan. Panitia, RT/RW (representasi pemerintah), dan penonton disapa dalam posisi yang sama. Begitu pula dengan nama-nama pejabat, tokoh masyarakat, dan orang-orang biasa yang pernah “singgah” dalam kehidupan Ki Dalang, semuanya disapa secara egaliter.
Sifat egaliter yang amat merakyat dengan bahasa yang multikultur, komposisi lakon dan guyon, irama dan pakem pertunjukkan wayang garing tidak gampang ditemukan dalam jenis-jenis wayang lainnya
Wayang Garing sangat berbeda dengan wayang kulit di Yogyakarta atau wayang golek di Jawa Barat. Wayang kulit adalah teater stanislavski yang amat setia pada lakon, sedangkan wayang golek mirip dengan teater Brecht yang mengasingkan lakon dengan kocokan guyonan. Perbedaan itu dengan sendirinya mencerminkan karakteristik kebudayaan dan masyarakat yang menghidupi masing-masing kesenian tersebut. Sifat egaliter yang amat merakyat, dengan bahasa yang multikultur, komposisi lakon dan guyon, irama dan pakem pertunjukkan wayang garing tidak gampang ditemukan dalam jenis-jenis wayang lainnya.
Sebagian orang banyak yang mengkritik pertunjukkan wayang garing sebagai pertunjukkan monoton. Mungkin pendapat ini tidak terlalu keliru mengingat dari awal sampai akhir pertunjukkan, sapaan dan komunikasi dalang kepada sejumlah penonton terus mengalir dilakukan seraya mengundang penonton untuk saweran. Cara bertutur semacam itu, selain menepiskan posisi lakon, memang cenderung monoton.
Kesan “kemiskinan” yang tergambar dalam pertunjukkan wayang garing menyimpan makna kesetiaan pada pahit getirnya kehidupan. Bagi Ki Dalang Kajali, mendalang memang untuk mencari uang. Wayang garing adalah potret masyarakat kelas bawah di tanah Banten. Oleh karena itu siapa saja yang berperan serta dan atau berpartisipasi (saweran pada saat pertunjukkan atau mengundang ki dalang pentas) berarti secara langsung menghidupi kesenian wayang garing.

Tidak ada komentar: